my clock

Minggu, 13 Juli 2014

Eugene kepada Alanza.

Ini hari Sabtu.
Hari lahirmu yang masih lekat dalam ingatan.
Kamu bahagia. Ya, saya tahu itu.
Saya menumpahkan segala rasa syukur saya kepada Sang Maha, karenaNya saya sadar, bahwa tidak perlu malaikat atau bidadari dengan paras jelita untuk membuat imajinasi saya jadi nyata, seperti kata mereka.
Empat tahun, kamu masih sama. Dengan segala kekurangan yang kamu punya, dengan kecerobohan kamu dalam hal kecil yang tidak jarang membuatmu menghabiskan stok tisu dengan cepat.
Style berpakaianmu tidak jauh beda. Masih sering memakai kaos panjang merah muda atau abu-abu.
Kamu penyuka warna biru, dan itu tidak berubah.
Kamu masih sering memakai sepatu kets dan parfum romantic pink yang melekat pada tubuhmu.
Kamu masih suka minuman hot chocolate juga?
Iya, tapi mungkin sekarang kamu mengkombinasikannya menjadi choco peanut.
Kamu masih suka menulis prosa sembari mendengarkan musik dalam tabletmu?
Iya, buktinya blogmu masih selalu update.
Kamu masih suka lagu-lagunya Ungu band?
Ah tidak, rasanya sekarang kamu lebih menyukai band asal Jogja yang bervokaliskan Duta Modjo. Semenjak pintamu pada teman-teman pada hari ulang tahunmu agar dibelikan album terbaru dari Sheila On 7. Benar tidak?
Tapi.. Kamu lebih dewasa sekarang. Lebih tenang dan tidak terlalu keras kepala.
Kamu mungkin masih selalu jadi tempat curhat teman-temanmu. Masih menyenangkan dan selalu bersedia mengantarkan temanmu, kemanapun saat diminta.
Kamu masih sesederhana dulu.
Kamu masih menjadwalkan untuk pergi ke Gramedia setiap bulannya.
Kamu masih suka makan kentang rebus yang dicocol pake sambal dan kecap manis.
Kamu masih menjadi seorang melankolis yang selalu berusaha apatis, tapu sayangnya kamu masih sering memberatkan apa kata orang.
Kamu ingat dengan cover buku tulis warna biru muda yang lembaran kertas di dalamnya warna-warni?
Ya, saya masih menyimpannya. Mungkin kamu lupa dan ingin membacanya lagi.
Radar saya masih berfungsi dalam hal menemukanmu.
Dan sekarang, saya akan memberikan manuskrip ini kepada kamu.
Semoga saat ini rasamu kembali seperti dulu saat bersama saya, Alanza.

“Saya masih menyimpan boneka teddy bear kecil warna kuning itu, saya masih menyelipkan gantungan kunci smiley di lemari pakaian, masih melipat dengan rapi surat ucapan selamat ulang tahun ke 18, masih ingat kamu yang nggak suka aroma kayu putih, masih hafal kamu yang suka dengerin lagu pakai speaker dengan volume keras..”
Dan hari setelah 1 tahun 2 bulan setelahnya…
“Kita mau jalan-jalan kemana setelah menikah nanti, Alanza? Masih pengen ke Paris?”
“Hahahaha, I love you Eugene!!”
“Terima kasih, telah mengisi hidup saya. Melengkapi ketidaksempurnaan diri saya sekali lagi…”



Tuhan, maaf.
Mungkin aku terlalu bahagia saat ini.
Aku mohon, jangan menyegerakannya menjadi berakhir.
Iya, tenang saja Tuhan.
Masih ada rasa syukur yang aku rapalkan berkali-kali.
Masih ada tulisan di tembok kamar kosan yang aku ucap setiap hari.
Iya, masih ada alarm pengingat. Ingatkan saja ketika aku mulai lupa.
Terima kasih… Karena dengan selalunya Engkau menyetujui proposal keinginanku.
Bahkan untuk hal-hal yang kuduga tidak mungkin.
Dan untuk kenyataan yang tidak sesuai dengan doa,
Aku tetap bahagia pada akhirnya…
Terima kasih untuk bahagia yang Engkau kirim semalam.
Efeknya masih berasa sampai pagi ini, Tuhan…
Oh iya Tuhan,
Aku mau bilang terima kasih ke utusanMu juga ya?


Terima kasih, kamu…
Setengah dua lebih beberapa detik. Kusandarkan leher pada bantal di sandaran kursi kayu berwarna coklat muda itu. Jauh… Imajiku berbayang pada satu sosok yang sangat familiar.
Pada bingkai foto yang kali ini bisa disebut usang namun tetap setia terpajang.
Pada folder “past” yang sempat aku salin saat hubungan itu masih terjalin.
Pada bungkus cokelat berwarna hitam pekat. Segitiga bentuknya.
Mungkin bungkus segitiga itu sebagai sinyal. Sebagai tanda bahwa kita tidak menuju ujung yang sama.
Aku yang sekedar diam dan berharap kamu yang berlari ke arahku. Tapi sayangnya instingku melenceng. Kamu hanya berjalan pelan-pelan lalu terburu-buru ketika kamu anggap waktunya tidak banyak lagi.
Terkadang keyakinan yang kita bangun malah tidak terjadi. Tapi justru semua perjalanan yang dilalui memberikan arti.
"Kamu masih berhubungan baik dengan mantan-mantan kamu?"
“Memangnya harus musuhan?”
"Kamu masih ada rasa sama orang itu?"
“Memangnya kalau peduli artinya masih ada rasa?”
"Kalau suatu hari nanti dia putar balik dan kamu masih ada di satu titik itu, kamu mau ngapain?"
“Nanya aja, udah capek jalan-jalannya? Hahaha”
Nggak akan ada cerita yang sama. Aku nggak punya cermin cerita untuk memastikan pantulannya.
Nggak akan ada perjalanan yang diulang.
Nggak akan ada aku ataupun kamu yang kaya kemarin, kaya dulu.
Kalau ada hal yang terulang, artinya salah satu atau semua dari kita salah ngomong.
"Eh tapi kalian mirip. Kata orang-orang kalau mirip jodoh"
“Tapi Alloh nggak bilang gitu kan?”

"Kalau misalnya…."
“Ah udah, pokoknya aku terima apa takdirnya Alloh”.
Aku akan duduk melihatmu dari jauh sambil mendoakanmu selama aku tidak bisa melakukan apapun saat ini. Bahkan untuk sekedar bertanya apa kamu sudah makan atau apa kamu baik-baik saja. Sekalipun kesempatan itu ada, aku merasa tidak semua kesempatan mesti diambil. 

Aku akan duduk memperhatikanmu…

sekedar ...

Saya ini kemarau, kamu itu hujan. Atau mungkin sebaliknya. Saya nggak peduli, saya cuma tahu jika kita saling merindukan.
Nanti kalau semesta sudah selesai dengan komprominya, kita sama-sama keliling dunia.
Tapi tidak hanya sekedar itu, kita akan sama-sama menggelar sajadah dan meminta doa baik kepada Sang Maha. Agar kita selalu diberi kekuatan untuk terus sama-sama.
Kita tahu untuk sekedar bersama saja tidak mudah, apalagi bertahan. Iya kan?
Tapi pada saatnya kelak saya dan kamu akan yakin bahwa betapapun semenyebalkannya saya atau kamu bagi kita, asalkan bersama, hal itu akan tetap lebih baik daripada jalan masing-masing.

Selasa, 22 April 2014

Perkara Melupakanmu

Perkara melupakanmu,
Ini bukan lagi sekedar menghilangkan nama seseorang dalam putaran otak
Ini bukan sekedar menghapus rasa yang mendiami hati
Ini bukan sekedar meninggalkan kebiasaan-kebiasaan yang belakangan secara religius kita lakoni
Ini tentang menghapuskan kecintaanmu kepada satu sosok yang membuatmu merasa hidup, membuatmu berani bermimpi, membuatmu merasa tak perlu khawatir karena semua akan baik saja jika dia ada.
Ini tentang keharusan membunuh sumber inspirasi penghapus dahaga imajinasimu

Sesulit itu, karena kau membangun angan-angan masa depanku
Sesulit itu, karena kau bahkan membuatku berani untuk terus bermimpi
Sesulit itu, karena kau inspirasi dari semua tulisan ini

Tapi, menulis membuatku sering menyebut namamu
Menuliskanmu membuatku lebih banyak mengingatmu 
Menulis tentangmu seakan membekukan dan membuat kisahmu abadi
Terus menuliskanmu dan mengingatmu membuat semakin sulit mengusir kau pergi  


Tapi, Aku tetap ingin menulis namamu sesering mungkin
Aku akan tetap menuliskanmu surat hingga lelah
Aku akan tetap menuliskan kisah mu sebanyak semampuku

Agar suatu hari ketika semua sudah, ketika aku telah berhasil melewati fase ini, aku akan kembali menengok ke sini, untuk tersenyum kepada mereka
Agar aku lebih menghargai kebahagiaan ketika itu
Agar aku ingat, aku pernah terjatuh, seterpuruk ini, sesusah ini bangkit dan aku mengingatnya dengan tersenyum, aku naik kelas, ikhlas.

Karena suatu hari akan tiba saatnya ketika setiap hari aku akan berucap
“I’M SO HAPPY I COULD DIE!”


@whiteteanosugar

Be kind.

So, have you ever..
Laid on your bed at night and just cried?
Cried because you're ugly. you're fool. because you're not good enough.
You counted all your flaws from head to toe, you counted all your mistakes to punish and feel worse about yourself.
Cried because the comments from those people actually hurt your feelings.
Cried because nobody understands you and then you thinks that you're alone.
Cried because no matter how much you care, some people just don't care back.
Cried because when you make an effort with something and it goes unnoticed.
Around people, you are the happiest ray of sunshine.
But then that feeling you get in your throat while you're trying to talk when all you can do is just about to cry.
And they left unsaid and nobody knows, and then at night when you are alone you break down and just cry.

Menjadi sedih itu tidak enak, siapa sih yang mau setiap harinya terus-terusan sedih? But hey, yes we all know, everyone has their own problem, they have their own struggle, they have their unique war yang gak perlu kita tahu bentuknya seperti apa tapi as human being sebagai manusia berhati haruslah kita berempati, atau jika susah sedikit bersimpati atau paling tidak secuil saja perduli. Gak ada orang yang suka dibiarin sendiri, nggak ada. Apa jadinya ketika orang sebegitu terpuruknya dan malah dibiarkan sendiri? Perduli kepada orang lain merupakan perbuatan baik, kan? Lalu, apa salahnya?

Saya percaya bahwa dengan berbuat baik, kita akan merasa senang. Energi positif dari kebaikan yang kita berikan kepada orang lain akan kembali kepada kita. Bahwa sekedar kalimat "Terimakasih" yang tulus diucapkan setelah kita membantu orang, pernah kalian sadari betapa hangatnya?

Saya pernah menyakiti, dan merasa begitu jahat. Saya juga tahu bagaimana sedihnya ketika disakiti, dijahati, dicurangi. Pada akhirnya saya menyadari, menjadi jahat dan menyakiti sesungguhnya merugikan dua kali, merugikan orang lain dan diri sendiri. Iya, kita tidak pernah benar-benar tau dampak terhadap orang yang kita sakiti, kita tidak pernah benar-benar tau sedalam apa sedih yang kita sebabkan untuk dirinya, belum lagi perasaan ketika suatu saat kita sadar sudah menyakiti dan menyia-nyiakan orang baik, menyesal? rasanya sangat tidak menyenangkan.
Dan ya sesungguhnya kita akan sadar bahwa menyakiti orang lain itu sama saja seperti kita menyakiti diri sendiri.

Jadi, apa salahnya untuk menjadi baik? untuk tidak menyakiti, untuk lebih perduli, apa sih untungnya berlaku tidak baik?

Saya pernah membaca sebuah kalimat bijak yang berkata “Menjadi orang penting itu baik. Tetapi lebih penting lagi menjadi orang baik”, Tidak apa jika kita menjadi tidak atau kurang penting bagi mereka yang penting atau berarti untuk kita, tetapi teruslah menjadi orang baik sehingga kita akan bermakna untuk sekitar walaupun tidak digubris. 

Bullshit? Tidak juga. Dia yang Maha Melihat selalu memperhatikan. Kembali lagi pada kalimat awal, saya selalu percaya bahwa segala hal baik yang kita berikan pasti akan kembali kepada kita, bisa jadi dalam bentuk yang berbeda dan dari orang yang berbeda juga.

Kita bisa menjadi apa dan berbuat apa, pilihan itu ada ditangan kita sendiri.
Pada akhirnya perlakukan orang lain sebagaimana kita ingin diperlakukan oleh orang lain.

Kata ibu, jangan suka meninggalkan kekecewaan di hati orang lain. Ibumu juga mengajarkan begitukah?


@ whiteteanosugar

Surat Yang Terlambat Setahun

        Hai ****, aneh ya baca ini, tumben banget ya aku ngasih kamu surat? baca aja ya, udah pokoknya nurut sama aku, cukup baca, ya? :)

     ****...
Tiga tahun bersama, bukan tak mungkin ada yang berbeda, bukan tak mungkin jika ada sesuatu yang berubah, karena untuk kau tau aku jenis manusia dinamis, bukan statis. ****, aku ingin berbicara tentang salah satu partikel dalam tubuhku, aku sedang membicarakan tentang solar plexus ku. kau tak perlu cari tau artinya biar ku beri tahu saja. begini, artikan saja itu sebagai rongga hati, ya aku ingin membicarakan tentang hati.

     ****, aku menikmati kebersamaan ini, terlalu menikmati mungkin, hingga ketika sadar segalanya telah berubah, kebersamaan kita menumbuhkan rasa yang berbeda, untukku. aku tak tau itu apa. aku ingin menyebutnya dengan cinta, tapi aku ragu. tapi kurasa ini memang cinta! ya, sudah ku terka, ekspresi itu akan keluar ketika kau membaca bait kalimatku barusan. aku terlalu mengenalmu ****, untuk tiga tahun ini. percaya padaku, sekarang otakmu sedang dipenuhi beribu tanda tanya, aku berani bertaruh untuk itu!

     Kalau sekarang yang muncul di otakmu adalah kalimat "mengapa bisa?" maka akan ku jawab "loh, memangnya mengapa tak bisa?" kau tau ****, perhatianmu itu berlebih terhadapku, radarku terlalu kuat untuk tak menemukan perhatianmu yang walau kau sembunyikan itu. dan aku tak tau kau terbuat dari morfin jenis apa, kau terlalu menenangkan untukku. untuk tempatku berkeluh kesah, untuk tempatku mengadu, mengeluh, berbagi cerita, tertawa, segalanya. kau ingat aku pernah berkata seperti ini "kadang aku ga butuh solusi, aku cuma mau ngadu, tentang apapun. aku suka ngadu sama kamu" ya, aku cuma suka ngadu sama kamu, sesederhana itu.

     Kalau setelahnya otakmu menuntut jawaban "sejak kapan?" aku tak tahu pastinya, mungkin semenjak aku kehilangan makna, sejak aku mulai ragu rasa ini harus kesebut dengan apa, mungkin juga ketika akalku sudah tak sejalan dengan rasa, atau mungkin semenjak wangi favoritku adalah aromamu, dan tempat yang paling nyaman buatku adalah pelukkmu. entahlah, yang pasti semenjak kusadari aku tak mau kehilangan kamu ****, aku mulai bisa sedikit meraba makna yang kurasa.

    ****, aku sudah tak bisa berkata-kata malam ini, aku tak tau apa yang harus ku sampaikan lagi. aku mencintaimu, ****.




sahabatmu,


                                                                                                                                               
 
  ps: aku menulis ini satu setengah tahun yang lalu, kapanpun kau menemukan dan membacanya, iya ini tentang kamu,


****= nama yg disamarkan :))


@whiteteanosugar