my clock

Minggu, 13 Juli 2014

Setengah dua lebih beberapa detik. Kusandarkan leher pada bantal di sandaran kursi kayu berwarna coklat muda itu. Jauh… Imajiku berbayang pada satu sosok yang sangat familiar.
Pada bingkai foto yang kali ini bisa disebut usang namun tetap setia terpajang.
Pada folder “past” yang sempat aku salin saat hubungan itu masih terjalin.
Pada bungkus cokelat berwarna hitam pekat. Segitiga bentuknya.
Mungkin bungkus segitiga itu sebagai sinyal. Sebagai tanda bahwa kita tidak menuju ujung yang sama.
Aku yang sekedar diam dan berharap kamu yang berlari ke arahku. Tapi sayangnya instingku melenceng. Kamu hanya berjalan pelan-pelan lalu terburu-buru ketika kamu anggap waktunya tidak banyak lagi.
Terkadang keyakinan yang kita bangun malah tidak terjadi. Tapi justru semua perjalanan yang dilalui memberikan arti.
"Kamu masih berhubungan baik dengan mantan-mantan kamu?"
“Memangnya harus musuhan?”
"Kamu masih ada rasa sama orang itu?"
“Memangnya kalau peduli artinya masih ada rasa?”
"Kalau suatu hari nanti dia putar balik dan kamu masih ada di satu titik itu, kamu mau ngapain?"
“Nanya aja, udah capek jalan-jalannya? Hahaha”
Nggak akan ada cerita yang sama. Aku nggak punya cermin cerita untuk memastikan pantulannya.
Nggak akan ada perjalanan yang diulang.
Nggak akan ada aku ataupun kamu yang kaya kemarin, kaya dulu.
Kalau ada hal yang terulang, artinya salah satu atau semua dari kita salah ngomong.
"Eh tapi kalian mirip. Kata orang-orang kalau mirip jodoh"
“Tapi Alloh nggak bilang gitu kan?”

"Kalau misalnya…."
“Ah udah, pokoknya aku terima apa takdirnya Alloh”.

0 komentar:

Posting Komentar

terimakasih sudah berkunjung . silakan koment yaa :)